
PETARUNGSULTRA.COM, KONAWE UTARA – Di balik gemuruh mesin kapal dan debu nikel yang beterbangan, Teluk Lasolo seharusnya menjadi benteng terakhir ekosistem laut Sulawesi Tenggara (Sultra), kini berubah menjadi jalur sutra bagi oligarki tambang.
Data teranyar BKSDA Sultra mengungkap fakta pilu: 29 perusahaan tambang dengan leluasa melintasi kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) ini, seolah konservasi hanyalah plakat usang di tengah raungan gurita industri.
Daftar Perusahaan dengan “Izin Sah”: Legalisasi Perusakan Berkedok Administrasi?
Dari 29 perusahaan yang tercatat, hanya 12 yang mengantongi izin resmi. PT Antam Tbk. BUMN yang semestinya menjadi garda depan kepatuhan lingkungan justru memimpin daftar dengan 2 Perjanjian Kerja Sama (PKS).
Di belakangnya, deretan nama seperti PT Bumi Karya Utama hingga PT Sultra Sarana Bumi seakan mendapat tiket bebas merdeka menggerus kawasan konservasi.
Pertanyaannya: “Benarkah izin-izin ini disertai kajian lingkungan yang rigor, atau sekadar legalisasi pro forma?”
Antrean Izin yang Mencurigakan: Bisik-Bisik Politik di Balik Rimbun Nikel
Tiga perusahaan PT Prismatian Metal Pratama, PT Risqi Sinar Biokas, dan PT Konawe Nikel Nusantara masih menggantungkan nasib pada “Proses Persetujuan Menteri”.
Sementara 11 perusahaan lain berada dalam “proses koordinasi”, istilah halus untuk negosiasi yang bisa berarti apa pun: dari syarat administratif hingga transaksi tak kasatmata.
Dermaga yang Hilang, Laut yang Terancam
Dua perusahaan PT Cipta Djaya Surya dan PT Mitra Utama Resources beroperasi tanpa dermaga. Padahal, jetty adalah infrastruktur kunci untuk meminimalisir dampak lingkungan. Tanpanya, sedimentasi dan tumpahan limbah ke perairan konservasi hanyalah soal waktu.
TWAL Teluk Lasolo: Konservasi atau Koloni Industri?
TWAL Teluk Lasolo sejatinya adalah rumah bagi terumbu karang, mangrove, dan biota laut endemik. Tapi hari ini, ia lebih mirip jalur transit bagi nikel-nikel yang akan mengisi pundi-pundi ekspor.
BKSDA mungkin masih bersembunyi di balik jargon “pemantauan”, tapi data berbicara jelas: “laut ini sedang dikorbankan”.
Tanda Tanya Besar untuk Pemerintah Daerah
Di mana peran Pemda Konawe Utara dan provinsi? Apakah mereka hanya menjadi “tukang stempel izin”, atau benar-benar memiliki nyali untuk menertibkan pelaku yang mengabaikan kelestarian lingkungan? Pengawasan yang “diharapkan diperketat” adalah eufemisme bagi kegagalan regulasi.
Darurat Ekologi di Teluk Lasolo
Ini bukan lagi tentang daftar perusahaan atau prosedur perizinan. Ini tentang “krisis kepercayaan” ketika konservasi hanya menjadi bingkai usang di dinding kantor dinas.
Jika 29 perusahaan hari ini boleh berlalu-lalang, esok bisa jadi 50. Lalu, apa yang akan tersisa untuk anak cucu? Laut mati, atau puing-puing hukum yang dikhianati?
Sebagai catatan BKSDA harus membuka dokumen lengkap kajian lingkungan hidup (KLH) untuk setiap perusahaan. Perlu investigasi lapangan oleh lembaga non-pemerintah untuk memverifikasi klaim “tidak ada pelanggaran”.
Pencabutan izin bagi perusahaan yang terbukti merusak ekosistem bukan sekedar teguran administratif.